STRATEGI ALTERNATIF PARTAI POLITIK

MARKETING POLITIC :
STRATEGI ALTERNATIF PARTAI POLITIK



A. LATAR BELAKANG

Ketika kita membicarakan marketing biasanya selalu identik dengan penjualan ataupun dunia bisnis, namun ternyata tidak selalu demikian. Ilmu marketingpun nyatanya bisa diadopsi pada berbagai macam bidang termasuk politik. Bahkan jawara ilmu marketing dunia Philip Kotler mengatakan marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis semata (Kotler & Levy,1969).
Berbicara mengenai konsep marketing yang diterapkan dalam dunia politik sepertinya hal tersebut hanya baru dirasakan menjelang Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 di daerah-daerah. Berbagai macam cara dan strategi dilakukan oleh para si empunya kepentingan demi meraih tujuannya. Hal ini terbukti dengan maraknya iklan-iklan yang menampilkan wajah-wajah si calon di berbagai media baik cetak maupun elektronik, mulai dari stiker yang kecil hingga spanduk-spanduk besar. Tentunya hal ini tidak dipungkiri bisa menambah pemasukan bagi media.
Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa Marketing tidak hanya terbatas pada institusi bisnis semata, marketing adalah proses yang memungkinkan adanya pertukaran ‘exchange’ (bogazi (1974:1975). Marketing juga diterapkan dalam rumah sakit, pemerintah, sekolah, dan organisasi sosial non-profit dalam mentransfer produk, service, norma, simbol, dan ide ke dalam masyarakat luas.
Marketing politik saat ini di Indonesia menjadi suatu fenomena yang menarik dan dilihat dari persaingan politik dengan adanya sistem multi partai yang memungkinkan persaingan akan semakin berat, lahirnya :
• UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum
• UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
• UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR DPRD
• UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Partai politik kontestan pemilu jauh-jauh hari telah melakukan “marketing politik” (political marketing). Beragam cara dan pola dilakukan dalam rangka marketing politik tersebut. Partai yang dikenal paling lihai memanfaatkan media spanduk ini adalah PKS. Saking seringnya sehingga ada yang memplesetkan PKS dengan “Partai Kebanyakan Spanduk”. Tapi jangan salah, justru dengan rajinnya memasang spanduk itu PKS kini menuai hasilnya, ia termasuk salah satu partai besutan reformasi yang paling moncer perkembangannya.
Tidak hanya itu, aktivitas marketing politik pun sudah merambah ke media massa, baik cetak, online maupun elektronik. Beberapa parpol pasang iklan di koran-koran serta tokoh-tokohnya mulai mengkampanyekan kelebihan dan keunggulan partainya di media elektronik. Bahkan, beberapa figur anggota calon legislatif konon diam-diam menjalin kerjasama dengan lembaga riset tertentu untuk mengukur kansnya lolos sebagai anggota legislatif.
Jika dipetakan, aktivitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik dan para tokohnya itu rata-rata baru sebatas pemanfaatan peran media massa (publikasi) dan riset pasar/politik. Untuk riset politik, sudah lama dimanfaatkan oleh elit parpol atau kandidat parpol yang maju dalam Pilkada, dan riset untuk para caleg baru menjelang Pemilu 2009 saat ini.
Sementara itu untuk pemanfaatan media massa hampir keempat bentuk/kategori publikasi yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik telah dimanfaatkan. Sebagai contoh, ada elit parpol atau caleg yang mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat atau dengan membuat spanduk propaganda (kategori pure publicity). Lalu ada yang tampil sebagai pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain atau turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga (free ride publicity).
Juga ada aktivis parpol yang berpartisipasi pada kegiatan bakti sosial pasca peristiwa luar biasa seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor hingga tsunami (tie-in publicity). Begitu pula ada tokoh parpol yang mempopulerkan dirinya melalui iklan di televisi maupun radio atau membeli rubrik atau program di media massa tertentu (paid publicity).
Di luar keempat tersebut, sebetulnya masih ada cara lain yang dimanfaatkan oleh parpol untuk menaikkan popularitasnya, yaitu memaintain suasana konflik atau konfrontasi antar elit politik di internal partai. Seperti yang terjadi pada PKB. Saking kentalnya partai ini dengan aura konflik, ada yang memplesetkan PKB dengan “Partai Kebanyakan Berantem”. Namun justru dengan cara itu elit partai ini sangat menikmati karena bisa menaikkan popularitasnya, terlepas apakah popularitas itu positif atau negatif.
Di era multipartai seperti sekarang ini, marketing politik menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Bukan hanya partai-partai baru dan relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna mengatrol citra dan popularitasnya agar dapat menangguk suara yang memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Ini kalau mereka tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu mendatang.
Di Indonesia marketing politik disinyalir mulai digunakan sejak tahun 1990-an. Tapi di dunia, marketing politik digunakan sejak sebelumnya Perang Dunia II, yaitu pertama kali pada tahun 1917 ketika Partai Buruh di Inggris meresmikan Departemen Publikasi dibantu oleh agen publikasi Egerton Wake. Sedangkan di Amerika Serikat pertama kali digunakan pada tahun 1926 ketika pesan politik dilakukan melalui media cetak seperti poster pamflet, koran dan majalah (Firmanzah, 2007).
Terdapat banyak manfaat yang bakal didapat dari penggunaan marketing politik tersebut. Pertama, membantu parpol untuk mengenal masyarakat atau konstituen dengan lebih baik. Kedua, dapat mengembangkan program kerja atau isu politik yang sesuai dengan aspirasi masyarakat/konstituen. Ketiga, mampu berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat/konstituen melalui berbagai media sebagai salurannya. Memang, dengan menerapkan marketing politik maka ongkos politik (political cost) yang harus dikeluarkan oleh sebuah parpol atau calon anggota legislatif menjadi sangat tinggi. Sebagai ilustrasi, menurut Hotline Advertising, pada Pemilu 2004 lalu saja biaya iklan kampanye setiap pasangan capres-cawapres mencapai Rp 60-100 miliar. Lalu iklan Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir (SB) “Hidup adalah Perbuatan” di televisi maupun koran, menurut sebuah sumber diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 153,7 miliar. Bahkan kabarnya, biaya kampanye Barack Obama, Capres AS dari Partai Demokrat, menembus angka Rp 2,2 triliun.
Namun demikian, hasil yang akan didapat pun dipastikan sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan tersebut bahkan bisa lebih. Ini selaras dengan pepatah Jawa “Jer Basuki Mawa Bea”, yang artinya “tidak ada hasil yang bisa didapat tanpa adanya biaya atau pengorbanan”.


2. KONSEP MARKETING DALAM POLITIK

Seperti halnya dalam dunia bisnis, dunia politikpun membutuhkan Konsep Marketing Mix ( bauran pemasaran ) atau yang dikenal dengan istilah 4P, yaitu :
• Product (personal karakter, platform partai, janji-janji kampanye)
• Price (biaya kampanye, lobi-lobi politik)
• Place (basis masa, tim sukses)
• Promotion (advertising, publicity, kampanye)

Hughes (2006) menyatakan: ”In politics, the application of marketing centers on the analysis of needs centers on voters and citizens; the product becomes a multifaceted combination of the politician himself or herself, the politician’s image, and the platform the politician advocates, which is then promoted and delivered to the appropriate audience.” Di sini dapat diambil kesimpulan bahwamarketing politik sama dengan marketing pada umumnya yang berpusat pada kebutuhan pemilih. Kebutuhan pemilih yang menjadi pusat perhatian dalam membina hubungan jangka panjang antara partai politik dan pemilihnya. Dan untuk mengetahui kebutuhan pemilihnya ini, maka partai politik perlu melakukan riset untuk mengenali pemilihnya dalam konteks sebagai konsumen politik. Dengan demikian, bagi para politisi sangatlah penting untukberadaptasi dan mengaplikasikan konsep pemasaran ke dalam pengembangan kebijakan dan komunikasi yang dilakukannya(marketing politik) seiring perkembangan kebutuhan pemilih untuk dapat memberikan input dalam proses politik yang dilakukan dan kebutuhan pemilih untuk memperoleh kepuasan dari hasil pemilu yang dilaksanakan menyadarkan politisi akan pentingnya.
Marketing politik memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu deskriptif dan preskriptif (memuat aturan-aturan dasar). Dalam fungsi deskriptifnya, analis marketing politik menyediakan suatu struktur bisnis untuk menjalankan, memetakan, mengartikan dan memadatkan dinamika sebuah kampanye partai politik, menawarkan kemungkinan baru dalam memenangkan pemilihan umum. Sementara itu, dalam fungsi preskriptif, banyak ahli yang mengungkapkan (secara eksplisit maupun implisit), bahwa marketing politik adalah suatu hal yang harus dilakukan partai politik dan kandidat untuk memenangkan pemilihan umum. Marketing politik bukan hanya sebuah disiplin, melainkan juga sebuah rekomendasi (0’Shaughnessy, 2001).
Marketing politik juga menyediakan perangkat teknik dan metode marketing dalam dunia politik (Firmanzah, 2007). Tujuan dari perangkat dan metode ini adalah untuk memahami, menganalisis kebutuhan dan keinginan pemilih, dan membina hubungan dengan pemilihnya. Dari hubungan dengan pemilih ini, akan terbangun kepercayaan, dan selanjutnya akan diperoleh dukungan suara mereka (O’Shaughnessy 2001). Perlu diperhatikan disini, bahwa kemenangan suatu partai politik diperoleh dengan mendapatkan suara mayoritas pemilih dalam pemilu. Untuk memperoleh suara mayoritas ini, partai politik perlu menetapkan marketing politik sebagai strategi jangka panjang (konsep permanen) untuk membangun kepercayaan (Dean & Croft 2000) mayoritas pemilih pemilu. Kepercayaan mayoritas pemilih pemilu hanya akan diperoleh jika partai politik terus konsisten menetapkan bauran pemasaran yang dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pemilih yang disasar.

Strategi Marketing Politik dan Permanen Kampanye
Supaya hasil marketing politik lebih maksimal, maka parpol sebaiknya tidak hanya berkutat pada pemanfaatan akses media massa dan riset politik belaka, tetapi perlu ditambah dengan pola atau strategi lain yang lebih kreatif dan inovatif. Karena sejatinya aktivitas marketing politik tidak hanya terpaku pada 2 hal itu saja tapi masih banyak yang lain.

• Pertama, karena marketing politik lebih daripada sekadar komunikasi politik, menurut Lees-Marshmant (2001), maka ia mesti diaplikasikan pada seluruh proses organisasi partai politik. Tidak hanya pada momentum menjelang pemilu atau tahapan pemilu saja ia diejawantahkan, melainkan harus sedini mungkin, misalnya pada tahap bagaimana memformulasikan produk politik lewat penciptaan simbol, image, platform, isu politik hingga program kerja.
• Kedua, dalam menerapkan marketing politik seyogyanya menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya pada teknik marketing namun juga sampai pada strategi marketing mulai dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, serta desain produk hingga ke market intelligent dan pemrosesan informasi.
• Ketiga, dalam menerapkan marketing politik hendaknya juga melibatkan disipilin ilmu sosiologi dan psikologi. Hal ini karena produk politik merupakan fungsi dari pemahaman sosiologis mengenai simbol dan identitas, sedangkan faktor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan karakter seorang pemimpin hingga pada aspek rasionalitas platform partai.
• Keempat, penerapan konsep marketing politik jangan hanya berhenti hingga pemilihan umum tapi juga harus terus berlanjut setelah itu, yaitu proses lobi politik di parlemen. Justru di situlah efektivitas marketing politik dipertaruhkan.

Yang pasti, jika masing-masing parpol peserta pemilu ingin mendulang sukses dan meraih dukungan sebanyak-banyak dari rakyat dan masyarakat pada 2009 mendatang, maka penggunaan marketing politik (political marketing) yang efektif dan komprehensif sejak dini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau tidak, Anda komunitas politik siap-siap gigit jari.
Marketing Politik tidak dilihat selama periode kampanye saja ( Butler & Collins, 2001 ). Partai politik harus terus menerus memperhatikan, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam kondisi dan keadaan apapu.
Kampanye yang dilakukan oleh partai politik dilihat dari sudut padang konsep marketing terdapat dua jenis kampanye, yakni pertama Kampanye Pemilu : bersifat jangka pendek dan biasanya dilakukan menjelang pemilu. Kedua Kampanye Politik : bersifat jangka panjang dan dilakukan secara terus menerus.
Secara garis besar kampanye Pemilu dan Kampanye Politik dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

KAMPANYE PEMILU KAMPANYE POLITIK
Jangka waktu Periodek dan tertentu Jangka panjang dan terus menerus
Tujuan Menggiring pemilih ke bilik suara Image politik
Strategi Mobilisasi dan berburu pendukung / Push-Marketing Membangun dan membentuk reputasi politik
Pull-Marketing
Komunikasi Politik Satu arrah dan penekanan kepada janji dan harapan politik kalau menang pemilu Interaksi dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat
Sifat hubungan antara kandidat dan pemilih Pragmatis / transaksi Hubungan relasional
Produk Politik Janji dan harapan politik
Figur kandidat dan Program kerja Pengungkapan masalah dan solusi
Ideologi dan sistem nilai yang melandasi tujuan partai
Sifat Program Kerja Market-Oriented dan berubah-ubah dari pemilu satu ke pemilu lainnya Konsisten dengan sistem nilai partai
Retensi Memori Kolektif Cenderung mudah hilang Tidak mudah hilang dalam ingatan kolektif
Sifat Kampanye Jelas, terukur, dan dapat dirasakan langsung aktifitas fisiknya Bersifat laten, bersikap kritis dan bersifat menarik simpati masyarakat.


Produk Politik, Produk Komersial dan Penyusunan Pesan Politik
Dalam pemilu, semua pemilih akan memberikan suara dalam sehari bahkan dalam sekejap mata secara bersamaan. Meskipun dimungkinkan adanya kekecewaan dalam jangka panjang setelah memberikan suaranya, kenyataannya tidak ada harga nomnal yang dibayar dalam memilih sebuah partai atau calon legislatif bahkan presiden sekalipun.
Selain pindah dukungan ke partai lainn, pemilih harus menerima hasil pilihan kolektif meskipun itu berbeda dengan pilihannya. Hal ini berbeda dengan perilaku konsumen dalam produk komersial. Pemilih tidak akan dapat menganalisa kandidat atau partai politik secara lengkap.
Untuk itulah diperulkan penyusunan pesan politik yang mendekata kebenaran berdasarkan fakta dan kajian secara ilmiah yang meliputi beberapa tahapan diantaranya : pertama, riset pasar dan isu politik, kedua riset oposisi dan lawan politik, ketiga penyusunan kebijakan, dan kempat lahirnlah desiminasi pesan politik yang akan disampaikan ketengah-tengah masyarakat.

Kondisi Masyarakat
Masyarakat Indonesia masih dalam pemenuhan kebutuhan dasar terutama untuk makan (>65%). Konsumsi berikutnya adalah pengeluaran untuk pangan berupa perumahan dan pendidikan dan kesehatan tidak kurang dari 10% saja.
Menurut Sensus Nasional pada tahun 2004, penduduk Indonesia berusia 15-64 tahun mayoritas penduduk kita berpendidikan dasar (36.02%, SD dan SMP ( 55.6%), SD+SMP+SMA = 78.2%, Perguruaan Tinggi = 5.1%, dan tidak berijazah = 16.8%


POLA KONSUMSI TAHUN 2000 TAHUN 2004
% Pengeluaran untuk makanan 63.59 65.54
% Pengeluaran untuk perumahan 18.42 15.93
% Pengeluaran untuk pendidikan 3.68 3.57
% Pengeluaran untuk Kesehatan 4.52 4.77
Total Pengeluaran ( Rp. ) 383.690 514.913

IJAZAH TERTINGGI JUMLAH PENDUDUK
Tidak Berijazah 20.207.615
SD 43.449.860
SMP 23.625.661
SMA 27.227.513
Perguruaan Tinggi 6.087.925
TOTAL 120.589.574

Lebih dari 10% kepala rumah tangga adalah pengangguran (2000) dan meningkat menjadi 12% pada tahun 2004 setelah sensus nasional dilaksanakan. Usia pemilih aktif pada tahun 2009 diperkirakan : 10-14; 15-19; 20-24; tahun di tahun 2000 dan lebih besar 50 tahun jumlahnya relatif kecil.

Untuk itulah jadikan Konsep Marketing Politik Alat Pembangun Bangsa dengan Tujuan dasar dari suatu perpolitikan suatu negara atau bangsa haruslah bermuara pada pembangunan menuju kesejahteraan bangsa itu sendiri yang seharusnya tercermin dari ideologi, visi dan misi suatu partai politik. Kesejahteraan merupakan kebutuhan seluruh rakyat yang dapat diterjemahkan dalam berbagai bentuk. Para praktisi politik seharusnya dapat menerjemahkan kebutuhan dan keinginan rakyat ini menjadi suatu produk-produk politik yang dapat memberikan manfaat untuk memuaskan kepentingan rakyat.
Semua ini dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat-perangkat dalam teori marketing yang telah ada, salah satunya dengan mengetahui people insight sehingga dapat menentukan dengan tepat apa yang dapat memberikan kesejahteraan (kepuasan) rakyat. Dengan beragamnya suku bangsa di Indonesia, people insight ini dapat beraneka ragam. Misalnya sebagian rakyat membutuhkan swasembada pangan, sedang sebagian yang lain menginginkan tersedianya pendidikan gratis. Bayangkan jika semua partai politik dapat memberikan setiap people insight ini. Kesejahteraan rakyat akan tercapai lewat politik yang membangun ini. Sebagaimana konsep marketing produk di mana produk yang diberikan dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan, marketing politik pun dapat memberikan hal yang sama bagi seluruh rakyat.


3. PROSES MARKETING POLITIK

Banyak faktor, yang menyebabkan kita harus mengatakan, bahwa dalam politik praktis, marketing is nothing. Benar apa yang dikatakan Dough Witt, penasehat kampanye George Bush (Sr) dan George W. Bush, yang kini bersimpati kepada Barack Obama. Ahli marketing yang mencetuskan dan memelopori konsep B Marketing, dengan pola networking piramidal, itu bilang, hanya partai politik dan kandidat Presiden yang ingin gagal saja, yang akan sibuk dengan marketing politik.
Dalam dunia politik, partai, kandidat anggota parlemen, dan kandidat Presiden, bukanlah produk, bukan pula jasa. Di sisi lain, want dan need siapa saja di dunia politik praktis berbanding diametral dengan dunia marketing pada umumnya. Marketing cenderung menempatkan people, konstituen, sebagai costumers, obyek. Padahal, dalam konteks pemilihan umum, konstituen - siapapun mereka, tak profesor, tak tukang obat pinggiran jalan, mempunyai posisi, status, dan segmentasinya sama. Mereka adalah subyek, sementara partai politik, calon anggota legislatif, dan kandidat presiden/wakil presiden adalah obyek.
Karena cenderung menempatkan konstituen sebagai obyek, maka seringkali partai politik, calon anggota legislatif, dan kandidat presiden/wakil presiden terjebak oleh mindset marketing yang mendorong produk dan jasa ke area kompetisi, dengan menggunakan ‘war strategy’. Mulai dari psywar, black campaign, serta metode usai head to head competition. Karena itu, strategi kampanye yang banyak ditawarkan, tak ubahnya strategi memasarkan benda mati. Sebagaimana tampak dari iklan-iklan politik yang ditayangkan di layar televisi kita saat ini. Salah satu bentuk komunikasi pemasaran yang buruk, dan menghadirkan citra politisi dan partai politik hanya sebagai pihak yang sibuk memperalat, memperebutkan, serta mempermainkan rakyat.
Karena amat mempercayai marketing politik, lihat dan rasakanlah apa yang terjadi saat ini, proses komunikasi politik bangsa ini tak pernah mampu membebaskan dirinya dari patron client relationship di satu sisi, dan traditional authority relationship di sisi lain. Kedua-duanya menempatkan rakyat sebagai client, dan para kandidat serta partai politik sebagai patron. Pola komunikasi semacam ini, memang sesuai dengan kebutuhan marketing, selalu menempatkan poduk barang dan jasa sedemikian berjarak dengan pasar, dan selalu menciptakan kondisi hilangnya dimensi kesetaraan antara produsen dan konsumen.
Dalam politik praktis, tentu model komunikasi semacam ini, justru akan menjadi boomerang. Maksud hati menciptakan positive image, yang diperoleh justru citra yang buruk. Apalagi, pengalaman rakyat memilih - khususnya melalui Pemilu anggota DPR, DPRD, MPR, DPD, dan Pemilihan Kepala Daerah - membuktikan, bahwa pesan yang disalurkan melalui proses komunikasi politik saat kampanye, berbanding diametral, ketika telah menjelma menjadi realitas pertama kehidupan sehari-hari.
Dari sudut pandang imagineering, untuk memenangkan pemilihan umum, sebagian terbesar aneka teori marketing, terbukti menimbulkan fenomena yang buruk. Yakni, menurunnya angka partisipasi konstituen dalam memilih. Meningkatnya jumlah konstituen yang tidak memilih (golongan putih) dalam pemilihan kepala daerah, misalnya, membuktikan marketing politik merupakan sesuatu yang nothing.
Mengandaikan metode idealistic frame sebagai salah satu intrumen imagineering, kita menyaksikan dengan seksama, dalam politik praktis, khusunya pemilihan umum yang melibatkan begitu banyak konstituen, dan memerlukan partisipasi konstituen yang besar, yang sangat diperlukan oleh partai politik dan para kandidat, bukanlah juru kampanye. Melainkan para ambassador, alias juru galang yang mampu melakukan penggalanggan konstituen, sekaligus melakukan proses transformasi (edukasi dan sosialisasi) politik.
Mereka inilah yang akan membebaskan partai, caleg, dan kandidat (bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, presiden/wakil presiden) dari ‘perburuan di kebun binatang’ atau ‘pertempuran di barak sendiri’, karena yang mereka lakukan justru melakukan proses pergerakan dan perluasan konstituen. Karena itu, sukses kampanye belum tentu dapat menjadi indikator untuk memperoleh kemenangan. Sebaliknya, sukses penggalangan akan menentukan indikator kemenangan dan political benefit yang berkepanjangan.
Dan kemenangan, tak hanya diukur oleh angka peroleh suara usai pemilihan. Melainkan komitmen dukungan yang konsisten. Karena inilah pula, yang kelak akan mengikat partai, anggota legislatif, para kepala daerah, presiden dan wakil presiden, terhadap visi, misi, dan grand strategy, yang tercermin di dalam program, rencana aksi, dan kegiatan pembangunan, selama lima tahun ke depan. Berlusconi (Italy) dan Sarkozy (Perancis) membuktikan, imagineering politik memenangkan visi, misi, dan grand strategy perubahan dan pembaruan suatu bangsa. Dari hanya sekadar memenangkan pemilihan. Jadi, lupakan marketing politik, bila bangsa ini ingin memenangkan rakyatnya.

Secara garis besar proses marketing tersebut dapat dilihat pada gambar tersebut di bawah ini :




















3. TUJUAN MARKETING POLITIK
• Menjadikan pemilih sebagai subjek dan bukan sebagai objek politik
• Menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih adalah langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dalam kerangka masing-masing ideologi partai
• Marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tetapi menyediakan tool bagaimana menjaga hubungan dengan pemilih untuk membangun kepercayaan dan selanjutnya memperoleh dukungan suara.

4. SEGMENTASI, TARGETING DAN POSITIONING POLITIK
TAHAP 1 : Segmentasi Pasar Politik
Menurut Kotler (2003 ): “Market segmentation is the process of breaking a heterogeneous group of potential buyer into smaller homogeneous groups of buyer, that is with relatively similar buying characteristics or needs” Dengan kata lain segmentasi pasar merupakan suatu aktivitas membagi atau mengelompokkan pasar yang heterogen menjadi pasar yang homogen atau memiliki kesamaan dalam hal minat, daya beli, geografi, perilaku pembelian maupun gaya hidup. Selanjutnya Kotler, kartajaya, Huan dan liu (2003) menyatakan bahwa segmentasi adalah melihat pasar secara kreatif, segmentasi merupakan seni mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang-peluang yang muncul di pasar. Pada saat yang sama segmentasi merupakan ilmu (science) untuk memandang pasar berdasarkan variabel geografis, demografis, psikografis dan perilaku.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa segmentasi memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan karena beberapa alasan; pertama, segmentasi memungkin perusahaan untuk lebih fokus dalam mengalokasikan sumber daya. Dengan membagi pasar menjadi segmen-segmen akan memberikan gambaran bagi perusahaan untuk menetapkan segmen mana yang akan dilayani. Selain itu segmentasi memungkin perusahaan mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai peta kompetisi serta menentukan posisi pasar perusahaan. Kedua, segmentasi merupakan dasar untuk menentukan komponen-komponen strategi. Segmentasi yang disertai dengan pemilihan target market akan memberikan acuan dalam penentuan positioning. Ketiga, segmentasi merupakan faktor kunci untuk mengalahkan pesaing, dengan memandang pasar dari sudut yang unik dan cara yang berbeda dari yang dilakukan pesaing.

Dalam menetukan segmentasi pasar politik hal yang perlu dilakukan adalah :
• Identifikasi dasar segmentasi pemilih
• Menyusun profil dari hasil segmentasi pemilih.

TAHAP 2 : Target Pasar Politik
Setelah mengidentifikasi peluang segmen pasar, selanjutnya adalah mengevaluasi beragam segmen tersebut untuk memutuskan segmen mana yang menjadi target market. Dalam mengevaluasi segmen pasar yang berbeda perusahaan harus melihat dua faktor yaitu daya tarik pasar secara keseluruhan serta tujuan dan resource perusahaan (Kotler, 2003). Perusahaan harus melihat apakah suatu segmen potensial memiliki karakteristik yang secara umum menarik seperti ukuran, pertumbuhan, profitabilitas, skala ekonomi, resiko yang rendah dan lain-lain. Perusahan juga perlu mempertimbangkan apakah berinvestasi dalam segmen tersebut masuk akal dengan mempertimbangkan tujuan dan sumber daya perusahaan. Selanjutnya Kotler, Kartajaya, Huan dan Liu (2003) menyatakan ada tiga kriteria yang harus dipenuhi perusahaan pada saat mengevaluasi dan menentukan segmen mana yang akan dijadikan target. Pertama, perusahaan harus memastikan bahwa segmen pasar yang dibidik itu cukup besar dan akan cukup menguntungkan bagi perusahaan. Perusahaan dapat saja memilih segmen yang kecil pada saat sekarang namun segmen itu mempunyai prospek menguntungkan dimasa datang. Sehubungan dengan hal ini perusahaan harus menelaah kompetisi yang ada di sektor tersebut dan potensinya untuk tumbuh karena akan berkaitan juga dengan ukuran dan pertumbuhan target segmen perusahaan. Kedua adalah bahwa strategi targeting itu harus didasarkan pada keunggulan kompetitif perusahaan yang bersangkutan. Keunggulan kompetitif merupakan cara untuk mengukur apakah perusahaan memiliki kekuatan dan keahlian yang memadai untuk menguasai segmen pasar yang dipilih sehingga memberikan value bagi konsumen. Untuk menghasilkan value yang unggul tidak cukup hanya memiliki sumber daya yang memadai tetapi harus didukung dengan kapabilitas, kompetensi inti, dan keunggulan kompetitif untuk melaksanakan diferensiasi yang ditujukan untuk memenangkan kompetisi tersebut. Perusahaan juga harus menganalisis dari dekat apakah segmen pasar yang dipilih telah sejalan dan mendukung tujuan jangka panjang perusahaan. Ketiga adalah bahwa segmen pasar yang dibidik harus didasarkan pada situasi persaingannya. Perusahaan harus mempertimbangkan situasi persaingan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi daya tarik targeting perusahaan. Beberapa faktor yang dipertimbangkan disini antara lain intensitas persaingan segmen, potensi masuknya pemain baru, hambatan masuk industri, keberadaan produk-produk pengganti, kehadiran produk-produk komplementer serta pertumbuhan kekuatan tawar menawar pembeli maupun pemasok.
Dengan menggunakan beberapa kriteria diatas perusahaan dapat menemukan kesesuaian perusahaan dengan segmen pasar yang tepat.
Targetisasi Pasar Politik langkah strategis yang diambil adalah dengan cara :
• Menyusun Kriteria pemilihan segment pemilih
• Memilih target segment pemilih

TAHAP 3 : Positioning Pasar Politik
Dalam menentukan positionig ada empat tahap yaitu: identifikasi target, menentukan frame of reference pelanggan (siapa diri), merumuskan point of differentiation — Mengapa konsumen memilih perusahaan, menetapkan keunggulan kompetitif produk — bisa dinikmati sebagai sesuatu yang beda (Kotler, 2003) Menurut Kotler, Kartajaya, Huan dan Liu, 2003 ada empat kriteria yang dapat dilakukan perusahaan untuk menentukan positioning. Pertama adalah kajian terhadap konsumen (cutomer). Disini positioning harus mendeskripsikan value bagi konsumen karena positioning mendeskripsikan value yang unggul. Selain itu positiong merupakan penentu penting bagi konsumen pada saat memutuskan untuk membeli. Berbagai langkah strategis dalam Positioning Pasar Politik adalah
• Menyusun strategi positioning di setiap segment
• Menyusun bauran marketing di setiap segment


4. FAKTOR PENENTU PEMILIH dan TIPOLOGI PEMILIH
Kondisi Awal : Bagaimana sosial budaya pemilih, nilai tradisional pemelih, level pendidikan dan ekonomi pemilih dan lain-lain.
Media massa : berkaitan dengan data, informasi dan berita di media masa , ulasan ahli, permasalahan terkeni, perkembangan dan trend situasi
Partai Politik : Jejak rekam dan reputasi ( performance ), marketing plotik, program kerja dan sistem nilai ( ideologi )

Related Posts